Dia berkata, pertanyaan ini sangat penting,
yakni tentang hadis yang telah kami sebutkan,
“Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah di Jazirah Arab
sehingga kemudian hanya rela untuk menebar permusuhan,
padahal di sana ada syirik besar,
yakni, sebelum masa dakwah sang imam reformis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab),
ada syirik besar,
ada yang menyembah batu,
ada yang menyembah pohon,
ada yang menyembah para wali dan orang saleh,
serta kuburan di jazirah Arab.”
Jadi, keadaan setan yang berputus asa itu adalah berdasarkan prasangkanya.
Setan menyangka bahwa setelah ada banyak penaklukan
dan Islam tersebar luas, sudah! Setan tidak mungkin disembah lagi.
Islam kuat, setelah Fatẖu Makkah, Islam kuat,
hingga masa setelahnya, hingga wafatnya beliau Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Islam berada di puncak kekuatannya hingga terbayang oleh setan
bahwa dia tidak akan mungkin disembah setelah itu,
sehingga dia mencukupkan dengan target yang lebih rendah, yaitu menebar permusuhan.
Namun, apakah prasangkanya itu sesuai dengan kenyataan
atau menyelisihi realita?
Jadi, yang muncul darinya sebenarnya adalah prasangka atau bayangan?
Karena realita menunjukkan yang sebaliknya.
Jadi, lebih tepatnya, kita katakan bahwa setan membayangkan
bahwa dia tidak akan disembah di jazirah Arab ini.
Kesedihan dan penyesalannya terhadap itu membuatnya
putus asa dan kepayahan untuk bisa disembah.
Akan tetapi, apakah dia berhenti? Tidak berhenti!
“Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh.” (QS. Fatir: 6)
Jadi, dia tetaplah musuh hingga hari Kiamat.
Seseorang berkata, “Demi Allah, kita tidak takut lagi kemusyrikan!
Saatnya mengurangi dakwah tauhid.”
Tidak! Tauhid adalah modal utama
dan mendakwahkannya adalah jalan Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
dan jalan orang-orang yang mengikuti beliau,
karena amalan apa pun tidak akan sah
tanpa tauhid, amalan apapun tidak akan sah.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik),
tetapi Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48)
“Sungguh, jika engkau berbuat syirik, niscaya akan gugur amalmu.” (QS. Az-Zumar: 65)
Tidak mungkin ada amalan yang diterima, bagaimanapun keadaannya,
kecuali setelah seseorang merealisasikan tauhid.
====
يَقُولُ هَذَا السُّؤَالُ مُهِمٌّ جِدًّا
يَعْنِي فِي الْحَدِيثِ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ
إِنَّ الشَّيْطَانَ أَيِسَ أَنْ يُعْبَدَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
وَرَضِيَ بَعْدَ ذَلِكَ بِالتَّحْرِيشِ
قَدْ وُجِدَ الشِّرْكُ الْأَكْبَرُ
يَعْنِي قُبَيلَ دَعْوَةِ الْإِمَامِ الْمُجَدِّدِ
وُجِدَ الشِّرْكُ الْأَكْبَرُ
وَوُجِدَ مَنْ يَعْبُدُ الْأَحْجَارَ
وَوُجِدَ مَنْ يَعْبُدُ الْأَشْجَارَ
وَوُجِدَ مَنْ يَعْبُدُ الْأَوْلِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ
وَالْقُبُورَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
وَكَوْنُ الشَّيْطَانِ أَيِسَ هَذَا عَلَى حَدِّ ظَنِّهِ
وَظَنَّ أَنَّهُ بَعْدَ أَنْ فُتِحَتَ الْفُتُوحُ
وَانْتَشَرَ الْإِسْلَامُ أَنَّهُ خَلَاصٌ لَمْ يُعْبَدْ
الْإِسْلَامُ قَوِيٌّ بَعْدَ الْفَتْحِ قَوِيٌّ
وَبَعْدَ ذَلِكَ مَا يَلِي الْفَتْحَ إِلَى وَفَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
صَارَ فِي غَايَةِ الْقُوَّةِ فَخُيِّلَ لِلشَّيْطَانِ
أَنَّهُ لَنْ يُعْبَدَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَصَارَ يَقْنَعُ بِالدُّونِ بِالتَّحْرِيشِ
لَكِنْ هَلْ ظَنُّهُ طَابَقَ الْوَاقِعَ
أَوْ خَالَفَ الْوَاقِعَ؟
وَهَلْ يَكُونُ حِينَئِذٍ ظَنٌّ أَوْ وَهْمٌ مِنْهُ؟
لِأَنَّ الْوَاقِعَ يَشْهَدُ عَلَى خِلَافِ ظَنِّهِ
الْأَدَقُّ أَنْ نَقُولَ تَوَهَّمَ
أَنَّهُ لَنْ يُعْبَدَ فِي هَذِهِ الْجَزِيرَةِ
وَأَوْصَلَهُ حَسْرَتُهُ وَنَدَمُهُ عَلَى ذَلِكَ
إِلَى أَنْ أَيِسَ وَاسْتَحْسَرَ أَنْ يُعْبَدَ
لَكِنْ هَلْ تَرَكَ؟ مَا تَرَكَ
إِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
فَهُوَ عَدُوٌّ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ
فَيَقُولُ: وَاللهِ مَا أَخْشَانَا الشِّرْكَ
وَبَدَأَ التَّهْوِينُ مِنَ الدَّعْوَةِ إِلَى التَّوْحِيدِ
لَا! التَّوْحِيدُ رَأْسُ الْمَالِ
وَالدَّعْوَةُ إِلَيْهِ سَبِيلُ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
وَسَبِيلُ مَنِ اتَّبَعَهُ
لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَيُّ عَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ
بِدُونِ تَوْحِيدٍ لَا يَصِحُّ أَيُّ عَمَلٍ
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ
وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ
لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
مَا فِي عَمَلٍ يُمْكِنُ أَنْ يُقْبَلَ بِحَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ
إِلَّا بَعْدَ تَحْقِيقِ التَّوْحِيدِ